Artikel dalam Acara Halal bi Halal bersama Keluarga Besar CV. Cynthia Box Kudus-Jepara


MOMENTUM PROKLAMASI DAN IDUL FITRI DALAM MEMBENTUK PRIBADI MUSLIM YANG IDEAL[1]
Oleh: Ahmad Fatah, S.Pd.I, M.S.I.[2]

Dalam bulan Agustus tahun ini paling tidak ada empat moment penting, yaitu: Puasa Ramadan, Nuzulul Qur`an tanggal 17 Ramadan, Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus dan Hari Kemenangan Hari Raya Idul Fitri. Puasa Ramadan identik dengan pembebasan manusia dari belenggu hawa nafsu. Nuzulul Qur`an identik dengan pembebasan manusia dari polytheisme, diskriminasi, dekadensi moral dan pengentasan buta aksara (illiteracy). Agustus identik dengan nilai perjuangan dan pembebasan manusia dari cengkeraman penjajah menuju Negara yang merdeka dan berdaulat. Idul Fitri identik dengan kemenangan umat Islam (dari hawa nafsu) dan kembali menuju fitrahnya.

Sebagai moment pembebasan, Ramadan tampil sebagai bulan yang penuh berkah dalam aspek ritualitas, aspek ekonomi dan aspek sosial. Berkah dalam aspek ritualitas ditandai dengan dilipatgandakannya pahala bagi orang yang berpuasa, ibadah sunnah pahalanya setara dengan pahala ibadah wajib dan puncaknya adalah adanya lailatul qadar yang keutamaannya lebih utama dari pada ibadah 1000 bulan. Disisi lain, Ramadan tampil sebagai bulan pembebasan dari dosa, oleh karena itu disebut sebagai bulan yang penuh ampunan, sesuai dengan nama Ramadha yang berarti membakar (dosa). Berkah dalam aspek ekonomi ditandai dengan bergeraknya seluruh sendi-sendi ekonomi dan meningkatnya kebutuhan dan permintaan  barang dan jasa. Fakta ini tentunya tidak selaras dengan spirit puasa yang sebetulnya harus mampu menahan dan mengendalikan diri dari konsumerisme. Berkah dalam aspek sosial tentu dirasakan masyarakat dapat berbagi terhadap saudaranya yang kurang mampu. Bagi orang yang mampu, Ramadan membawa berkah untuk menemukan “atmosfer sosial” yang berbeda dengan dapat buka bersama, tarawih keliling antar instansi, kultum, tadarus Alquran maupun santunan kepada fakir miskin dan anak yatim. Bagi orang yang kurang mampu, Ramadan menjadi bulan yang penuh empati, simpati dan merasakan solidaritas sosial.
Puasa dan Character Building
Hakikat puasa adalah menahan diri. Dalam terminologi fikih puasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkan puasa mulai dari fajar shidiq hingga terbenamnya matahari. Definisi tersebut bersifat tekstual dan lebih menekankan menahan diri dari aspek jasmaniyyah, sedangkan pada aspek ruhaniyyah dan ijtimaiyyah belum menyentuh substansi puasa. Oleh karena itu perlu menggagas puasa yang kontekstual. Menahan diri idealnya juga dimaknai pengendalian diri dari kebohongan, keserakahan, malas, hedonisme dan konsumerisme. Sifat-sifat tersebut itulah yang sebetulnya akar dari hancurnya peradaban dan budaya masyarakat. Oleh karena itu Ramadan hadir sebagai Pilar dalam Islam sekaligus sebagai character building dalam masyarakat yang berbudaya dan beradab.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang  terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan  karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial, budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Dengan demikian konsep pendidikan karakter harus ditempuh melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Puasa Ramadan adalah ibadah yang sistemik. Selain puasa ada komponen lain yang melingkupinya yaitu shalat tarawih dan witir, tadarus Alquran, zakat dan puncak kemenangan, yaitu Idul Fitri. Jika puasa adalah menahan diri untuk tidak konsumtif guna berempati terhadap penderitaan fakir miskin, maka zakat adalah menahan diri untuk tidak konsumsif guna bersimpati kepada fakir miskin. Selanjutnya, ibadah shalat (tarawih dan witir) berjamaah dan tadarus Alquran menjadi keutamaan dalam Ramadan, karena shalat adalah Tiang Agama dan Alquran adalah Grand Concept dalam Islam. Struktur puasa yang sistemik inilah yang secara nyata membentuk pendidikan karakter yang utuh dalam diri individu dan masyarakat.
Puasa mengajarkan berbagai nilai karakter dalam kehidupan. Secara individual puasa membentuk kesadaran sistemik berupa nilai disiplin, jujur dan sabar. Disiplin terbentuk dari beberapa hal: Pertama, disiplin dalam pola makan. Pola makan dalam sahur dan berbuka menjadikan pendidikan kedisiplinan yang luar biasa, karena dalam satu bulan penuh. Kedua, disiplin waktu. Saat imsak dan saat berbuka merupakan dua moment penting, karena saat itulah dengan hitungan yang teliti orang baru start menjalankan puasa maupun finish ketika berbuka. Ketiga, disiplin menjalankan shalat, tadarus Alquran maupun puasa itu sendiri. Nilai disiplin ini pada hakikatnya mengandung nilai terampil mengelola waktu, ini juga yang menunjukkan bahwa puasa skillfull oriented.
Adapun jujur terbentuk dalam beberapa hal: Pertama, jujur dalam ucapan. Kedua, jujur dalam tindakan. Satu kata dalam ucapan dan tindakan inilah yang menjadi pilar agar orang tidak bohong. Sedangkan sabar terbentuk dari kesadaran untuk konsisten menahan lapar, dahaga dan nafsu seksualitas hingga saat waktu berbuka tiba. Artinya, nafsu konsumerisme, hedonisme dan keserakahan harusnya bisa direduksi, bukan malah meningkatkan konsumerisme, hedonisme dan keserakahan.
Secara sosial puasa juga membentuk kesadaran sosial berupa kepedulian, empati, dan kebersamaan. Ketiga hal itu seringkali dikemas dalam satu acara, yaitu buka bersama dan santunan fakir miskin dan anak yatim. Makna yang terkandung disini adalah kebersamaan dilaksanakan dalam hal positif dan humanis, bukan sebaliknya. Selanjutnya, dengan adanya kepekaan sosial ini juga mampu menghilangkan kesenjangan dalam masyarakat (social disparity).
Disisi lain, dengan berpuasa juga menjadi sehat. Makna sehat disini tentu tidak sekedar sehat fisik, melainkan sehat secara psikis, mental dan intelektual. Sehat adalah modal utama dalam kehidupan. Dan sehat secara fisik, psikis dan intelektual adalah dambaan tiap manusia. Dengan demikian sangatlah tepat dan bijak dalam tiap Ramadan ummat Islam bersama-bersama menjalankan ibadah yang memiliki fungsi itu.
Dengan demikian puasa tidak hanya sebagai kewajiban ritual tahunan, tetapi membentuk kepribadian manusia yang ideal yang disebut dengan takwa. Karena substansi takwa adalah adanya pemenuhan kewajiban yang bersifat Ilahiyyah dan pemenuhan yang bersifat ijtima`iyyah. Hal inilah mengapa reward bagi orang yang berpuasa sangat ekslusif, hanya Allah swt yang mengetahui. Semoga nilai-nilai puasa yang relijius, humanis dan sangat sesuai dengan fitrah manusia ini mampu menjadi karakter dalam Ramadan maupun setelah Ramadan. Hal ini juga selaras dengan peningkatan mutu pendidikan bangsa yang berbasis skillfull oriented and character building.
17 Ramadan dan 17 Agustus: Relijiusitas dan Nasionalisme
Selanjutnya, Nuzulul Qur`an yang jatuh pada tanggal 17 Ramadan merupakan moment pembebasan manusia dari polytheisme, diskriminasi, dekadensi moral dan pengentasan buta aksara (illiteracy). Pembebasan manusia dari polytheisme menuju pada monotheisme (Ketauhidan) merupakan aspek fundamental pada diri ummat Islam. Alquran juga hadir untuk membebaskan manusia dari diskriminasi menuju pada egaliterisme disisi Allah, hal ini sesuai dengan firman Allah swt: “Wahai manusia, sesungguhnya Allah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia dari kalian semua disisi Allah adalah taqwanya”. (QS. al-Hujurat, 13)
Pembebasan dari dekadensi moral juga menjadi concern turunnya Alquran, karena atas dasar moral yang mulia manusia dapat hidup dengan peradaban dan budaya yang tinggi. Adapun pengentasan dari buta aksara artinya Alquran turun tidak hanya mengajari manusia untuk mengenal baca dan tulis, tetapi juga mengandung makna bahwa baca tulis sebagai fondasi manusia dalam pendidikan untuk melangsungkan kehidupan sebagai khalifah dimuka bumi. Singkat kata, momentum Nuzulul Qur`an merupakan moment mengaji, mengkaji dan mengamalkan Alquran.
Adapun 17 Agustus 2012 merupakan peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-67. Peringatan ini memiliki makna yang mendalam yaitu nilai perjuangan dan pembebasan manusia dari cengkeraman penjajah menuju Negara yang merdeka dan berdaulat. Secara historis peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 juga bertepatan dengan Ramadan, yaitu hari Jumat Legi, 9 Ramadan 1364 Hijriyah, yang di Proklamirkan oleh Founding Father Ir. Soekarno dan Drs. Muhammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Makna kemerdekaan ini tidak sekedar seremonial tentunya, tetapi masih banyak “pekerjaan rumah” yang harus diselesaikan. Diantaranya adalah masalah kemiskinan, ketahanan pangan, krisis energi, dekadensi moral hingga tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Problem multidimensi ini tentu dapat diselesaikan dengan solusi multidimensi dengan mensinergikan berbagai pihak yang berkompeten, profesional dan memiliki jiwa negarawan dan nasionalisme yang kuat. Dengan demikian kemerdekaan dapat terwujud bagi seluruh tumpah darah Indonesia.
Terakhir, moment hari Kemenangan Idul Fitri tidak sekedar identik dengan kembali pada fitrah. Disisi lain ada tradisi mudik dan halal bi halal, sebuah tradisi khas Indonesia yang tidak kita temukan di negara-negara lain. Tradisi mudik ini berarti pulang ke kampung halaman dengan menggunakan sarana perhubungan darat, laut maupun udara. Mudik menjadi sorotan sosial yang luar biasa, mengingat jumlah ummat Islam di Indonesia adalah yang terbesar di dunia dan tersebar diseluruh Nusantara, bahkan di luar negeri. Dan pada saat hari Raya Idul Fitri secara bersama-sama pulang ke kampung halaman untuk merayakan Hari Kemenangan. Sedangkan halal bi halal menjadi tradisi untuk saling berkunjung dan bermaafan antar kerabat, masyarakat maupun antar instansi. Hal ini bertujuan untuk saling bersilaturrahim sekaligus memohon ampunan atas dosa sesama manusia. Dengan demikian Hari Kemenangan dirayakan dengan suasana yang relijius, khas Indonesia dan dengan mobilitas yang tinggi.
Tahun ini moment kemenangan ummat Islam, hari Raya Idul Fitri jatuh selang dua hari setelah peringatan Proklamasi Kemerdekaan. Semoga momentum bulan pembebasan dan kemenangan ini mampu sebagai spirit dan inpirasi meningkatkan nasionalisme dan religiusitas dalam kehidupan kita beragama, berbangsa dan bernegara. Agar menuju pada kerukunan, kemakmuran, kedisiplinan dan masyarakat yang berbudaya. Wallahu A`lam bish Showab.


Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H
Minal A`idin Wal Fa`izin
Mohon Maaf Lahir dan Batin



[1] Artikel dalam acara Halal bi Halal Keluarga Besar CV. Cyntia Box Kudus, 25 Agustus 2012.
[2] Penulis adalah Dosen Tetap di Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Pati (STAIP) sejak 2009-sekarang dan Dosen Luar Biasa di Pusat Bahasa (Language Center) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus sejak 2004-sekarang. Penulis juga mendapatkan Penghargaan dari Bupati Kudus sebagai Juara Pemuda Pelopor Kabupaten Kudus untuk Kategori Pendidikan, 28 Oktober 2011.

Comments

Popular posts from this blog

Hijrah Momentum Perubahan